Akan tetapi, apakah itu berarti emosi Allah sama seperti emosi manusia? Apakah tepat menganggap-Nya "emosional" (dalam arti emosinya dapat pasang dan surut)? Menurut pengertian teologi, kepribadian diartikan sebagai "keadaan sebagai individu yang memiliki akal, emosi, dan kehendak." Oleh karena itu, Allah adalah "pribadi" dalam arti Ia adalah Allah yang pribadi lengkap dengan akal, emosi, dan kehendak pribadi-Nya. Menolak konsep Allah yang beremosi sama-halnya dengan menolak bahwa Ia memiliki kepribadian.
Manusia menanggapi hal-hal duniawi secara fisik, tentunya, tapi kita juga memberi respon secara rohani – jiwa kita bereaksi, dan inilah yang kita sebut sebagai "emosi." Fakta bahwa manusia mempunyai emosi adalah bukti bahwa Allah juga memiliki emosi, karena Ia telah menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya (Kejadian 1:27). Adapun bukti lain dalam peristiwa Inkarnasi. Sebagai Anak Allah di dunia ini, Yesus bukanlah robot yang tak beremosi. Ia merasakan apa yang kita rasakan, Ia menangis dengan mereka yang menangis (Yohanes 11:35), Ia merasakan belas kasihan bagi kerumunan massa (Markus 6:34), dan Ia pernah merasa dilanda kesedihan (Matius 26:38). Melalui semua itu, Ia mengungkapkan Allah Bapa pada kita (Yohanes 14:9).
Meskipun Allah begitu melampaui segala sesuatu, kita telah mengenal-Nya sebagai Allah yang hidup dan pribadi, yang terlibat mendalam dengan ciptaan-Nya. Ia mengasihi kita dengan cara yang tak dapat kita pahami (Yeremia 31:3; Roma 5:8, 8:35,38-39), dan Ia disedihkan oleh dosa dan pemberontakan kita terhadap-Nya (Mazmur 1:5, 5:4-5; Amsal 6:16-19).
Kita menyadari bahwa pengungkapan emosi tidak merubah ketetapan kehendak Allah atau janji-janjiNya. Dalam kata lain, Allah tidak berubah (Maleakhi 3:6; Bilangan 23:19; 1 Samuel 15:29). Emosi-Nya tidak mengalami pasang surut. Perasaan dan tindakan Allah terhadap ciptaan-Nya, hukuman dan pengampunan-Nya, keadilan dan belas kasihan-Nya, semuanya konsisten dengan keprbadian-Nya (Yakobus 1:17). Respon Allah pada kebaikan dan kejahatan berasal dari kehendak-Nya yang tak berubah. Allah hendak menghakimi dan menghukum orang berdosa demi menegakkan keadilan dan, oleh karena itu, menyebabkan orang berdosa bertobat karena Ia ingin supaya semua orang dapat beroleh keselamatan (1 Timotius 2:4). Kita telah mengenal dan berelasi dengan Allah sebagai Pribadi yang dapat merasakan, yang dapat mengasihi dan membenci, yang berduka dan tertawa, yang murka dan berbelas kasihan. Ia mengasihi orang benar dan membenci orang yang fasik (Mazmur 11:5-7; 5:4-5; 21:8).
Ini bukan berarti bahwa emosi kita dan emosi Allah sama persis. Kita kadang menyebut bahwa emosi menghalangi penilaian kita karena kodrat berdosa kita telah mencemari emosi kita. Sebaliknya, Allah tidak berdosa, dan emosi-Nya masih murni. Sebagai contoh, ada perbedaan yang besar antara amarah manusia dengan murka ilahi. Amarah insani bersifat subyektif, liar, dan diluar kendali (Amsal 14:29, 15:18; Yakobus 1:20). Murka Allah berakar pada keadilan ilahi. Murka Allah sepenuhnya benar dan bisa ditebak, tidak berubah-ubah atau dengki. Dalam amarah-Nya, Ia tak pernah berdosa.
Semua emosi Allah berdasar pada kodrat-Nya yang kudus dan selalu diungkapkan tanpa dosa. Bleas kasihan, duka, dan sukacita Allah adalah ungkapan sempurna akan kesempurnaan DiriNya. Amarah Yesus terhadap pemimpin bait di dalam Markus 3:5 dan kasih-Nya bagi pemimpin muda yang kaya dalam Markus 10:21 tergerak secara sempurna oleh kodrat illahi-Nya.
Jalan Allah telah direkam bagi kita menggunakan istilah yang tidak asing dan dapat kita pahami. Murka Allah dan amarah-Nya terhadap dosa adalah nyata (Amsal 8:13; 15:9). Dan belas kasih-Nya bagi orang berdosa bersifat tetap dan tulus (2 Petrus 3:9; Pengkhotbah 8:11; Yesaya 30:18). Karya-Nya mengungkapkan belas kasihan-Nya dan rahmat-Nya. Secara lebih utama, kasih-Nya bagi anak-anakNya tak berkesudahan (Yeremia 31:3) dan tak tergoncangkan (Roma 8:35,38-39). Allah tidak hanya mempunyai rencana dan pikiran; Ia juga mempunyai perasaan dan keinginan pula. Sebagai kontras pada emosi manusia yang labil, tak dapat diandalkan, dan tak dapat diandalkan, emosi Allah dapat diandalkan dan sama tidak berubahnya seperti DiriNya.
Ada dua hal yang istimewa terkait Allah dan emosi: pertama, Ia memahami emosi kita (karena Ia menciptakan kita dengan kemampuan merasakannya), dan, kedua, emosi-Nya selalu mengalir dari kesempurnaan-nya. Allah tidak pernah mengalami hari yang buruk; Ia tidak akan merubah perasaan-Nya terhadap orang-orang yang telah Ia tebus.