Pertanyaan: Mengapa Tuhan melarang makan daging yang mengandung darah (Kejadian 9:4)?
Jawaban:
Dalam Kejadian 9, Nuh menerima sebuah perjanjian dari Tuhan. Sebagian dari perjanjian itu menghapus larangan sebelumnya untuk tidak makan daging, mengizinkan Nuh dan keluarganya untuk membunuh binatang untuk dimakan. Namun, pembolehan itu disertai dengan ketentuan ini: "Hanya daging yang masih ada nyawanya, yakni darahnya, janganlah kamu makan" (ayat 4).
Salah satu alasan Tuhan melarang konsumsi darah hewan dalam Perjanjian Lama adalah untuk mengajarkan rasa hormat terhadap kesucian kehidupan. Darah dipandang sebagai simbol kehidupan di seluruh Alkitab (lihat Imamat 17:11). Penyebutan kata darah pertama kali dalam Alkitab ditemukan dalam Kejadian 4:10, di mana Tuhan bertanya kepada Kain, si pembunuh, "Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah." Penumpahan darah melambangkan hilangnya nyawa. Dalam Perjanjian Baru, "darah Kristus" adalah kiasan umum untuk "kematian Kristus" (Efesus 2:13; 1 Petrus 1:19).
Di bawah Hukum Musa, beberapa makanan tertentu dianggap najis untuk dikonsumsi, termasuk daging yang masih mengandung darah (Ulangan 12:16). Gereja mula-mula mendesak orang-orang percaya bukan Yahudi untuk menjauhkan diri dari makan daging yang mengandung darah agar tidak menyinggung perasaan saudara-saudara mereka yang Yahudi dan menjauhkan diri dari praktik-praktik penyembah berhala (Kisah Para Rasul 15:20).
Alasan lain dari perintah Tuhan untuk tidak memakan daging yang mengandung darah tidak diragukan lagi berkaitan dengan pengorbanan. Darah adalah satu-satunya penebusan dosa (2 Tawarikh 29:24; Ibrani 9:22); oleh karena itu, darah dipandang sebagai sesuatu yang suci. Tuhan ingin memastikan bahwa darah dari korban-korban itu selalu dianggap berharga. Untuk menjaga penghargaan umat terhadap pengorbanan, Tuhan tidak bisa membiarkan darah menjadi makanan biasa.
Perlakuan manusiawi terhadap binatang mungkin menjadi alasan lain mengapa Tuhan memerintahkan Nuh untuk tidak memakan daging yang masih ada darahnya. Tuhan tidak ingin manusia bertindak seperti binatang-binatang pemakan daging, yang menangkap mangsanya dan langsung memakannya. Sebaliknya, mereka harus mengeringkan darah dari bangkai dan dengan demikian memastikan bahwa binatang itu sudah mati sebelum dimakan.
Lebih jauh lagi, beberapa orang berpendapat bahwa Tuhan mungkin telah memberikan perintah ini karena alasan kesehatan. Darah yang terdapat dalam daging berarti daging tersebut belum sepenuhnya matang, dan memakan daging yang belum matang dapat menyebabkan penyakit. Kita menyadari bahaya ini hari ini, sebagaimana dibuktikan oleh peringatan yang diamanatkan oleh USDA yang ditemukan di menu-menu modern: "Mengkonsumsi daging, unggas, makanan laut, kerang, atau telur mentah atau setengah matang dapat meningkatkan risiko penyakit bawaan makanan." Pada budaya kuno, risikonya bisa jadi lebih tinggi, mengingat standar keamanan makanan yang lebih rendah.
Di dalam Kristus, hukum-hukum makanan ini sudah tidak berlaku lagi, dan Perjanjian Baru tidak memberikan instruksi yang jelas bagi gereja mengenai makanan (Roma 14:14; 1 Timotius 4:3). Roma 14:1-4 mengajarkan, "Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya. Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang lemah imannya hanya makan sayur-sayuran saja. Siapa yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu. Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri" Alkitab mengijinkan orang Kristen untuk memiliki kebebasan pribadi dalam hal konsumsi daging dan cara memasaknya.
Singkatnya, Tuhan melarang makan daging yang mengandung darah dalam Perjanjian Nuh dan Hukum Musa. Baik alasan rohani maupun jasmani kemungkinan besar ada di balik larangan ini. Di dalam Kristus, kita memiliki kebebasan untuk memilih dalam hal ini. Namun, seperti halnya semua kebebasan orang Kristen, kita harus menahan diri agar tidak menyakiti orang percaya lainnya (Roma 14:13-22). Pada akhirnya, makan apa pun harus dilakukan untuk kemuliaan Tuhan (1 Korintus 10:31).